Jenis, Hirarki, dan Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
Disusun oleh: I'ib Sutera Aru Persada
Sebagai upaya untuk menertibkan jenis
dan hirarki peraturan perundang-undangan tersebut maka setelah meletusnya
pemberontakan G30S tahun 1965 dan dikelurkannya Surat Perintah 11 Maret 1966
dari Presiden Soekarno kepada Letnan Jendral Soeharto, melalui Ketetapan MPRS
No. XIX/MPRS/1966, MPRS menugaskan kepada Pemerintah bersama-sama dengan DPR-GR
untuk melaksanakan peninjauan kembali terhadap produk legislatif baik yang
berbentuk Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Undang-Undang, maupun
Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang. Dalam Ketetapan MPRS
XIX/MPRS/1966 tersebut ditetapkan bahwa:
1.
Semua Penetapan Presiden dan
Peraturan Presiden yang dikeluarkan sejak Dekrit 5 Juli 1959, ditinjau kembali.
2.
Menugaskan Pemerintah
bersama-sama dengan DPR-GR untuk melaksanakan peninjauan kembali terhadap
Pentapan Presiden/Peraturan Presiden dengan ketentuan bahwa Pentapan Presdien
dan peraturan Presiden yang isi dan tujuannya sesuai dengan suara hati rakyat
dalam rangka usaha pengamanan revolusi ditangkan dalam Undang-Undang sedangkan
yang tidak sesuai dengan suara hati rakyat dinyatakan tidak berlaku.
3.
Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang memuat materi yang bertentangan dengan
UUD 1945 ditinjau kembali.
4.
Peninjauan kembali
Penetapan-penetapan Presiden, Perpres, UU, dan PERPU diatas harus selesai dalam
jangka waktu dua tahun.
5.
Selama peninjauan kembali
belum selesai, Penetapan Presiden, Perpres, UU, dan PERPU tetap berlaku.
6.
Sejak ditetapkan ketetapan
ini, tidak dibenarkan lagi dikeluarkan Pentapan-penetapan Presiden dan
Peraturan-peraturan Presiden.
Hasil peninjauan kembali tersebut
hasilnya dituangkan dalam bebrapa UU, yaitu:
1.
UU No. 25 Tahun 1968 tentng
Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Pentapan Presiden dan Peraturan Presiden
Republik Indonesia.
2.
UU No. 5 Tahun 1969 tentang
Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai UU.
3.
UU No. 6 Tahun 1969 tentang
Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai UU dan PERPU.
4.
UU No. 7 Tahun 1969 tentang
Penetapan Berbagai Peraturan Pemrintah Pengganti Undang-Undang Menjadi
Undang-Undang.
Disamping itu sebgai upayauntuk
mengatasi kerancuan menganai jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan
tersebut, MPRS juga menetapkan Ketetapan MPRS XX/MPRS/1966 tentang Memorandum
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik
Indonesia. Ktetapan MPRS XX/MPRS/1966 ini merupakan pengukuhan dari Memorandum
DPR-GR tanggal 9 Juni 1966 yang merupakan hasil Peninjauan kembali dan
penyempurnaan dari Memorandum MPRS tanggal 12 Mei 1961 No 1168/U/MPRS/61
mengenai Penentuan Tata Urutan Perundang-undangan Republik Indonesia. Menurut
Memorandum DPR-GR yang telah dikukuhkan
dengan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut bentuk-bentuk peraturan
perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945 ialah sebagai berikut:
1.
Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945;
2.
Ketetapan MPR;
3.
Undang-undang, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang;
4.
Peraturan Pemerintah;
5.
Keputusan Presiden;
6.
Peraturan-peraturan
Pelaksanaan lainnya seperti:
a)
Peraturan Menteri.
b)
Instruksi Presiden.
c)
Dan lain-lainnya.
Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut
cukup besar kegunaannya bagi penertiban peraturan perundang-undangan yang
berlaku saat ini. Namun terdapat juga kekurangan. Menurut Maria Faruda Indriati
S., dimasukannya UUD 1945 dan Ketetapan MPR sebagai bagian dari bentuk
peraturan perundang-undangan adlah tidak tepat. Karena UUD 1945 terdiri dari
dua kelompok norma hukum, yaitu Staatsfundamentalnorm
atau Norma Fundamental Negara yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dan Staatsgrundgesetz atau Norma Dasar
Negara/Aturan Pokok Negara yang tertuang dalam Batang Tubuh UUD 1945. Sedangkan
Ketetapan MPR yang meskipun kedudukannya dibawah UUD 1945 juga berisi
garis-garis besar atau pokok-pokok kebijakan negara juga sebagai staatsgrundgesetz yang mengandung norma
yang masih bersifat garis besar dan merupakan norma hukum tunggal yang belum
dilekati oleh sanksi. Hal tersebut berbeda dengan materi muatan peraturan
perundang-undangan yang lazim disebut dengan Formell Gesetz yang berisi
peraturan-peratura untuk mengatur warga negara dan penduduk secara langsung
yang di dalamnya dilekati oleh sanksi pidana dan sanksi pemaksa bagi
pelanggarnya. Dengan demikian UUD 1945 dan Ketetapan MPR tidak masuk dalam
urutan peraturan perundang-undangan, tapi masuk dalam kategori Statsgrundgesetz, sehingga menempatkan
UUD 1945 dan Ketetapan MPR ke dalam jenis peraturan perundang-undangan adalah
terlalu rendah.
Masih menurut Maria Farida Indriati S., jika
yang dimaksudkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 adalah Keputusan
Presiden yang bersifat khusus (einmahlig)
adalah tidak tetap. Karena Keputusan Presiden yang einmahlig sifat normanya
individual, konkrit, dan sekali selesai sehingga bersifat pentapan (bechikking). Padahal norma dari suatu
peraturan perundang-undngan selalu bersifat umum, bstrak, dan berlaku terus
menerus (dauerhaftig). Dengan
demikian seharusnya Keputusan Presiden yang dimasukkan ke dalam peraturan
perundang-undangan adalah Keputusan Presiden yang bersifat dauerhaftig dan bukan Keputusan Presiden yang bersifat einmahlig.
Begitu pula dengan istilah Peraturan
Mneteri juga dipandang tidak tepat, dan sebaiknya digantikan dengan Keputusan
Mneteri, karena dengan penyebutan Keputusan Mneteri akan berarti lebih luas,
yaitu baik yang bersifat pengaturan (regeling)
maupun penetapan (beschikking).
Selain itu penyebutan Keputusan Menteri dirasa lebih konsisten dengan
penyebutan Keputusan Presiden. Menurut Maria Farida, apabila yang dimaksud
dengan “keputusan” ialah peraturan perundang-undangan, maka sebaiknya digunakan
istilah peraturan perundang-undangan, maka sebaiknya digunakan istilah yang
sama bagi peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden dan yang dikeluarkan oleh
Menteri, yakni Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri atau Peraturan Presiden
dan Peraturan Menteri.
Dimasukkannya Instruksi Menteri dalam
peraturan perundang-undangan, meskipun sebagai peraturan pelaksana, menrut
Maria Farida juga tidak tepat, sebab suatu instruksi itu bersifat individual
dan konkrit serta harus ada hubungan atasan bawahan secara organisatoris,
sedangkan sifat dari suatu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan
adalah umum, abstrak, dan berlaku terus menerus. Memang tampak tidak konsisten,
jika Instruksi Menteri dimasukkan sebagai peraturan perundang-undangan,
meskipun hanya sebgai peraturan pelaksana, mengapa tidak dimasukkan pula
Instruksi Presiden? Padahal, meskipun tidak termasuk jenis peraturan
perundang-undangan, ternyata dalam praktik penyelenggaraan negara Presiden
banyak mengeluarkan Instruksi Presiden, bahkan diantara terdapat Instruksi
Presiden yang bermuatan pengaturan dan dalam praktik disikapi dan diletakkan sebgai bagian dari
peraturan perundang-undangan.
Kelemahan lain menurut Maria Farida dari
MPRS No. XX/MPRS/1966 adalah tidak dimasukanya Peraturan Daerah sebagai
peraturan perundang-undangan, padahal Peraturan Daerah juga termasuk dalam
jenis peraturan perundang-undangan dan tidak selalu merupakan peraturan
pelaksana saja.
Kelemahan-kelemahan tersebut sebenarnya
disadari oleh MPR, karena itu pada Sidang Umum MPR Tahun 1973 ditetapkan bahwa
meskipun tetap dinyatakan berlaku agar MPRS No. XX/MPRS/1966 tersebut
disempurnakan, bahkan pentapan perlunya Penyempurnaan tersebut ditetetapkan
kembali pada Sidang Umum MPR pada Tahun
1978. Namun sampai dengan berakhirnya Pemerintah Orde Baru penyempurnaan yang
ditetapkan oleh MPR tersebut tidak pernah dilakukan oleh DPR dan Presiden, baik
melalui Undang-Undang maupun melalui peraturan perundang-undangan lainnya.
Penyempurnaan, atau lebih tepatnya perbaikan, baru mengiringi dilakukannya
perubahan terhadap UUD 1945.
Daftar Pustaka:
- Al AtokRosyid, 2015, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Setara Pers, Malang.
- Indrati S. Maria Farida, 2007, Ilmu perundang-undangan 1, jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisus, Yogyakarta, Cetakan ke 13.
Comments
Post a Comment