Jenis, Hirarki, dan Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/2000



Disusun oleh: I'ib Sutera Aru Persada
Ada 3 (tiga) peraturan perundang-undangan yang mengatur jenis dn hirarki peraturan perundang-undangan SETELAH Perubahan UUD 1945, yaitu Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menggantikan UU No. 10 Tahun 2004.[1]

Bersamaan dengan Perubahan Kedua UUD 1945, pada Sidang Tahunan MPR yang petama tanggal 7-18 Agustus 2000, MPR memutuskan ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 sebgai pengganti dari Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Menurut Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tata ururtan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:[2]
1.      Undang-Undang Dasar 1945
2.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
3.      Undang-Undang
4.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
5.      Peraturan Pemerintah
6.      Peraturan Presiden
7.      Peraturan Daerah
Jika dibandingkan dengan tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, maka tata urutan peraturan perundang-undangan yang termaktub dalam Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tersebut terdapat beberapa perbedaan yang cukup mencolok, yaitu:[3]
1.    Diletakannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dengan urutan di bawah UU;
2.    Tidak dicantumkannya Peraturan Pelaksana; dan
3.    Dimasukkannya Peraturan Daerah
                 Diletakkannya PERPU di bawah Undang-Undang tidaklah tepat. Pada Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang tidak pernah diubah menyatakan “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Ketentuan ini mengandung makna karena fungsi PERPU adalah sebgai peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang, maka PERPU mempunyai kedudukan yang setara dengan undang-undang. Dengan demikian menempatkan PERPU dlam tata urutan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang adalah bertentangan dengan UUD 1945.[4]
                 Mengenai tidak dicantumkannya Peraturan Pelaksana lainnya dalam tata urutan peraturan perundang-undangan secara sepintas tampaknya tidak menimbulkan masalah. Namun jika dicermati akan menimbulkan beberapa permasalahan.[5]
                 Dengan tidak dicantumkannya Peraturan Pelaksana lainnya yang ada dibawah Keputusan Presiden, seperti Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri dalam tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut bisa menimbulkan persepsi bahwa Peraturan Pelaksana lainnya itu tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, sehingga dalam penetapan Peraturan Daerah ada banyak kekeliruan karena tidak mendasarkan pada keputusan Menteri atau Peraturan Menteri. Jika Peraturan Daerah yang secara substansi mengandung muatan materi peraturan  pelaksana dimasukkan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, mengapa Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri yang seringkali harus dijadikan pedoman dalam penetapan peraturan Daerah tidak dimasukkan dalam tata urutan peerundang-undangan? Padahal dalam praktik penyelenggaraaan negara banyak Keputusan Menteri atau Peraturan Mneteri yang bersifat  mengatur. Justru dlam Pasal 4 ayat (2) ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 dinyatakan bahwa peraturan atau Ketetapan MA, BPK, Menteri, Bank Indonesia, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Pemerintah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang termuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan ini. Padahal MA dan BPK tidak dapat membentuk suatu keputusan yang bersifat mengatur, yaitu yang bersifat umum, abstrak, dan terus menerus. Mungkinkah ketentuan mengenai kebradaan Peraturan Pelaksana lainnya, seperti Keputusan atau Peraturan Menteri diperintahkan diatur dalam undang-undang? Ternyata ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tidak menyatkaan demikian dan hanya memerintahkan bahwa yang diatur dalam undang-undang itu adalah tata cara pembuatan undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan daerah, dan pengujian peraturan perundang-undangan oleh MA serta pengaturan ruang lingkup Keputusan Presiden, sebgaimana ditentukan dalam Pasal 6, sebagai berikut:[6]
                 “Tata cara pembuatan undang-undang, peraturan pememrinta, peraturan daerah, dan pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung serta pengatura ruang lingkup keputusan presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”[7]

Sehubung dengan hal diatas, maka Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan Surat Edaran No. M.UM.01.06-27 tertanggal 23 Februari 2001 yang menyatkaan bahwa Keputusan Menteri yang bersifat mengatur merupakan  salah satu jenis peraturan perundang-undangan dan secara hirarkis terletak di antara Keputusan Presiden dan Peraturan Daerah.[8]
Begitu kerancuan yang terdapat dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/2000. Padahal penetapan Ketetapan MPR tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan kerancuan pengertian yang ditimbulkan oleh Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, sebgaimana dikemukakan dalam konsideran “menimbang”nhuruf e dari Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 yang menyatakan:[9]
e. Bahwa Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 menimbulkan kerancuan pengertian, sehingga tidak dapat lagi dijadikan landasan penyusunan peraturan perundang-undangan.

Selain hal diatas, dimaksudkannya Peraturan Daerah sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 dimaksudkann  adalah untuk memantabkan pelaksanaan otonomi daerah[10] dan menampung kondisi kusus dari daerah yang bersangkutan.[11] Termasuk Peraturan Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (7) Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 adalah:[12]
1.    Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur.
2.    Peraturan daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota.
3.    Peraturan Desa atau yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau yang setingkat, sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
Ketentuan dalam Pasal 3 ayat (7) diatas hanya menjelaskan tentang macam-macam Peraturan Daerah, tetapi tidak menjelaskan tentang susunan hirarki atau tata urutan dari Peraturan Daerah yang dimaksud. Disamping itu juga tidak menyinggung sama sekali tentang kedudukan Keputusan Kepala Daerah, yaitu Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, dan Keputusan Kepala Desa, bagaimana kedudukannya dalam Peraturan Daerah. Hal ini menimbulkan pertanyaan, jika Keputusan Presiden yang bersifat mengatur dimasukan dalam tata urutan peraturan perundang-undangan (tingkat pusat) mengapa Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa, yang juga bersifat mengatur tidak dimasukan dalam tata urutan perundang-undangan (tingkat daerah)?.[13]
Dari beberapa permasalahan diatas ternyata ketetapan MPR No. III/MPR/2000 yang dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah kerancuan pengertian yang ditimbulkan dari Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, justru menimbulkan beberapa kerancuan baru dalam tata ururtan perundang-undangan. Dalam perkembangan selanjutnya, ditetapkan tata urutan perundang-undangan baru yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 yang kemudian disempurnakan lagi dalam UU No. 12 Tahun 2011.[14]  



[1] Dr. Rosyid Al Atok, 2015, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Setara Pers, Malang, h. 53
[2] Republik Indonesia, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber tertib Hukum dan Tata Urutan perundang-undangan, Pasal  2.
[3] Dr. Rosyid Al Atok, Op. Cit., h. 53-54
[4] Maria Farida Indrati S., 2007,  Ilmu perundang-undangan 1, jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Kanisus, Yogyakarta, Cetakan ke 13, h. 91-93
[5] Dr. Rosyid Al Atok, Op. Cit., h. 54
[6] Ibid., h. 54-55
[7] Republik Indonesia, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber tertib Hukum dan Tata Urutan perundang-undangan, Op. Cit., Pasal 6
[8] Maria Farida Indrati S., Op. Cit., h. 94.
[9] Republik Indonesia, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000, Op. Cit., Konsideran Menimbang huruf e.
[10] Ibid., Konsideran Menimbang huruf d.
[11] Ibid., Pasal 3 ayat (7).
[12] Ibid.
[13] Dr. Rosyid Al Atok, Op. Cit., h.57
[14] Ibid.




Comments

Popular posts from this blog

Jenis, Hirarki, dan Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966

HUBUNGAN ANTARA HUKUM DAN KEKUASAAN

PASCA DEBAT CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN (Jilid 1: Kamis 17 Januari 2019)