URGENSI DISAHKANNYA RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL (RUU-PKS) DALAM RANGKA MEMENUHI HASRAT FEMINIST JUSTICE DI INDONESIA


Disusun oleh: I’ib Sutera Aru Persada

Baiq Nuril, nama tersebut menjadi buah bibir dan menyedot perhatian publik beberapa bulan terakhir. Dia merupakan mantan Pegawai Tata Usaha di SMAN 7 Mataram yang sebelumnya dinyatakan bebas dalam Putusan Pengadilan Negeri Mataram No. 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr. pada tanggal 26 Juli 2017. Namun kemudian dalam Akta Permohonan Kasasi No. 18/Akta-Kas/Pid.Sus/2017/PN.Mtr. tanggal 1 Agustus 2017 Penuntut Umum mengajukan kasasi. Menariknya, Mahkamah Agung menjatuhkan vonis bersalah melanggar Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Melalui Putusan Kasasi No. 574K/Pid.Sus/2018 pada 9 November 2018, Baiq Nuril dihukum selama 6 bulan penjara dan denda sebesar Rp. 500 juta subsidair pidana kurungan 3 bulan karena terbukti mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.
Kasus tersebut juga menimbulkan kritik dari berbagai lapisan masyarakat yang menuntut keadilan terhadap hak-hak perempuan atau feminist justice. Direktur Eksekutif Institute For Justice Reform (ICJR), Anggara menyesalkan putusan tersebut, dia mengatakan “MA tidak hati-hati dalam memutus perkara ini, Baiq Nuril tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, sebab unsur Pasal 27 ayat (1) UU ITE harus dikaitkan dengan Pasal Kesusilaan dalam KUHP, yakni perbutan larangan penyebaran konten bermuatan pelangaran asusila yang diniatkan untuk menyebarkan di muka umum. Namun fakta persidangan Baiq Nuril tidak pernah menyebarkan konten pelangaran asusila di muka umum. Perbuatan Baiq Nuril merekam percakapan tersebut hanya sebagai upaya pembelaan diri. Atas nama kemanusiaan dan kepentingan negara melindungi korban kekerasan seksual, Presiden Jokowi dapat betul-betul mempertimbangkan memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. Terlebih, Presiden Jokowi juga berkomitmen memberikan perlindungan hukum dan mengawasi penegakkan hukum khususnya perempuan” harapnya demikian.
Kasus Baiq Nuril hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang pernah terjadi. Sempitnya pengaturan menjadi sebab ketidakadilan masih begitu terasa. Bercermin dari kasus tersebut, Komnas Perempuan membenarkan adanya kekerasan seksual yang begitu masif di Indonesia. Dalam lima tahun (2010-2014) kasus kekerasan seksual yang terjadi terus meningkat. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan mengenai kekerasan terhadap perempuan di Tahun 2010 tercatat 2.645 kasus dan meningkat di Tahun 2014 tercatat ada 4.458 kasus kekerasan seksual.
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi, menyebabkan munculnya berbagai gelombang protes. Aksi menuntut feminist justice sudah sering dilakukan walaupun dengan judul dan bunyi yang berbeda. Ketika kasus Baiq Nuril mencuat di media masa. Beberapa daerah di Indonesia, para aktivis dan masyarakat melakukan aksi. Kumpulan aksi tersebut membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) semakin terdesak untuk segera mensahkan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS). “DPR bersama pemerintah akan mengebut penyelesaian RUU-PKS setelah mendapat banyak masukan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)” ujar Ketua DPR Bambang Soesatyo di Komplek Parlemen, Senin (19/11/2018).
Gelombang protes tidak hanya di Indonesia, belakangan ini juga terjadi di belahan dunia lain. Seperti di Spanyol, para aktivis menggalang aksi di lebih dari 40 kota. Puluhan ribu orang bergabung dalam aksi di pusat ibukota Spanyol, Madrid. Menurut statistrik resmi, Tahun 2018 di Spanyol sudah 44 perempuan dibunuh oleh pasangannya. Gelombang protes dan dukungan terhadap feminist justice juga sudah terjadi sejak lama.  Tanggal 8 Maret ditetapkan  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Hari Perempuan Internasional.  Penetapan oleh PBB terjadi pada Tahun 1978, tiga tahun sebelumnya PBB menetapkan Tahun 1975 sebagai Women’s Year International (Tahun Perempuan International) dan bulan Maret didedikasikan sebagai Bulan Perempuan. Ini menjadi peringatan bagi setiap negara untuk melidungi hak-hak perempuan dengan membuat undang-undang khusus terkait kekerasan seksual.
Komnas Perempuan mengidentifikasi setidaknya terdapat 8 negara yang menerbitkan undang-undang khusus terkait kekerasan seksual, dengan beragam judul atau nama. 3 diantaranya adalah Inggris (Sexual Offence Act), India (Sexual Offences and Domestic Violence Act), dan Bangladesh (Oppressions Against Women and Children Act). Indonesia sendiri telah membuat RUU-PKS dengan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis yang kokoh. Ruang lingkup RUU-PKS sangat luas mengatur tindak pidana kekerasan seksual seperti pelecehan, eksploitasi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Selain itu juga mengatur pencegahan, hak korban, hak keluarga korban, hak saksi, penanganan, perlindungan, pemulihan, partisipasi masyarakat, kerjasama internasional, pemidanaan, pemantauan, sanksi administrasi, hingga acara peradilan pidana kekerasan seksual.
Secara filosofis, tertulis dengan jelas dalam Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara dan UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan, oleh sebab itu keduanya mendasari pembentukan RUU-PKS. Dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 berisi tujuan didirikannya negara Indonesia  salah satunya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Lebih lanjut Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 memberikan jaminan kepada setiap orang atas “perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman....”.  Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 juga menjamin hak setiap orang untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Perlindungan yang tinggi kepada kemanusiaan juga tercermin dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang seirama dengan sila kedua Pancasila yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Secara sosiologis, kekerasan seksual bersumber dan terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia secara nyata. Ketimpangan relasi merupakan akar kerentanan perempuan  dalam kasus kekerasan seksual. Dari dokumentasi Komnas Perempuan, ditemukan bahwa kekerasan seksual juga terjadi dalam berbagai konteks yang dipengaruhi oleh faktor yang beragam, di antaranya yakni kekerasan seksual dalam konteks kemiskinan, kekerasan seksual berbasis budaya, kekerasan seksual dalam situasi konflik, dan kekerasan seksual berbasis diskriminasi berlapis. Berbagai faktor tersebut menjadi dasar pembentukan RUU-PKS.
Secara yuridis, Peraturan Perundang-undangan harus dibentuk sesuai dengan hirarki peraturan yang ada. Baik secara horizontal maupun vertikal tidak boleh saling tumpang tindih. Rumusan definisi dan tindak pidana kekerasan seksual sebelumnya telah disebutkan didalam KUHP, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 diubah menjadi Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, serta UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Namun pengaturan itu masih memiliki residu yakni kekosongan hukum. RUU-PKS akan mengisi kekosongan hukum terkait KUHAP dari viktimisasi berulang pada korban menjadi konsep sistem peradilan pidana terpadu penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan (SPPT-PKKTP). Kemudian mengisi kekosongan hukum terkait kebijakan non penal dalam pencegahan kekerasan dan pemulihan. Selain itu, RUU-PKS akan mengoreksi ketentuan terkait kekerasan seksual yang belum komprehensif memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Hal itu menunjukan bahwa RUU-PKS tidak tumpang tindih dan bertentangan dengan aturan sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, dalam upaya memperoleh feminist justice di Indonesia, setiap warga Negara terutama perempuan berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Perempuan dan anak merupakan kelompok rentan kekerasan seksual sehingga mereka berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan yang khusus. Pemulihan korban yang menimbulkan dampak fisik, psikis dan sosiologis berhak mendapatkan perlakuan khusus dan kemudahan akses hukum. Korban kekerasan seksual harus mendapatkan haknya atas kebenaran, keadilan, pemulihan, pemenuhan rasa keadilan dan jaminan ketidakberulangan serta perlindungan dari negara. Kekerasan seksual merupakan kejahatan berat memiliki ciri-ciri khusus yang tidak terdapat dalam kejahatan umum. Dengan demikian, untuk mewujudkan masyarakat tanpa kekerasan seksual di Indonesia, baik di ranah domestik maupun di ranah publik, baik di wilayah aman maupun di wilayah konflik, dan karena ciri-ciri khusus kekerasan seksual tersebut, sudah saatnya Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual untuk disahkan.


Daftar Pustaka:
1.        Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual
2.        Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual

Comments

Popular posts from this blog

Jenis, Hirarki, dan Proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Berdasarkan TAP MPRS No. XX/MPRS/1966

HUBUNGAN ANTARA HUKUM DAN KEKUASAAN

PASCA DEBAT CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN (Jilid 1: Kamis 17 Januari 2019)